🥋 Mengapa Aku Begitu Pandai

Mengapabukan aku? Lamaran pekerjaan berbondong-bondong datang. Cukup satu kali ia sisipkan. Melenggang dan lolos begitu mudahnya. Sedangkan secuil pengukuhan jabatan ku hendak tegakkan, sejenak rapuh dan runtuh. Selalusaja itu rasa dan eksistensi yang aku rindukan ketika ibu tidak ada di dunia lagi. Aku selalu bertanya-tanya, apakah aku masih anak yang dibanggakan ibu setelah semua kelalaian dan kesalahanku hingga dewasa. Apakah ibu masih bersyukur akan aku sebagai putrinya setelah aku begitu lama menangisi dan menyesali kepergiannya. Danapakah aku dan mereka yang ku sebut teman, benar-benar teman ? Aku dan temanku selalu membicarakan CC dan RM, dibelakang mereka. Tapi aku bersama DW juga selalu menceritakan MN, RN, FH, dibelakang mereka semua, begitu pula sebaliknya. kebetulanaku mencalonkan diri sebagai wakil ketua di salah satu organisasi di kampusku, setelah melewati tahap yang begitu panjang, tibalah masa pemilihan dan pengumuman. ternyata aku kalah dalam pemilihan tersebut, beda suara sekitar 19 suara. Akutelah tersakiti, perih yang sangat dalam dan aku harus membuang perasaan yang dulu kubanggakan. Aku malu dengan diriku. Tak ada lagi kata yang bisa menggambarkan rasa sakitku yang begitu dalam. Kini ku merasa, kau adalah orang terjahat yang pernah ku temui selama hidupku. *terinspirasi dari curahan hati ku yang tersakiti. QuraishShihab mengatakan memang Nabi Muhammad SAW tidak mengandalkan hal-hal yang bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya. Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Qur'an dan diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai tolok ukur untuk mengakui Setelahaku menyadari kesalahanku.. Mengapa begitu cepat kau pergi dari hidupku? Semuanya seakan hilang begitu saja dari hadapanku.. Seandainya.. Kau tau sepi hati ini, telah hancur dengan kepergianmu.. Begitu pandai kamu memiliki apa yang tak mereka miliki, saya kehilangan kamu untuk waktu yang lama, saya kehilangan kamu dalam hembusan Akuhanya ingin mengambil yang itu. Aku sudah tau apa yang ada di dalamnya. Aku pikir kau begitu pandai. Ternyata kau hanya seorang yang sangat naif. Lebih lama kau membuka kotak cintamu itu, kau akan mati. Mati tersedot oleh kotakmu sendiri.' 'Tapi, apakah kau juga mau menjadikan jalan itu menjadi jalan menuju rumahmu?' ''Kalau itu Apakaharti sahabat itu yang sebenarnya? Kau begitu pandai dalam berkata,, YAaku tak bisa menyalahkan sepenuhnya kepadamau, Karna ini mungkin sifat keturunan dari orang tuamu, apa lingkungan keluargamu yang menjadikan kau bersifat dan bertindak yang tidak seharusnya kau lakukan . . Ajarilah aku ya Allah Mengenali, karunia-Mu Begitu banyak yang, Kau beri Begitu sedikit yang, kusadari Ajarilah, aku ya Allah Berterima kasih, pada-Mu Supaya aku dapat slalu Mensyukuri nikmat-Mu. Sayup-sayup kudengar alunan sebuah lagu, mengalun merdu dari bibir-bibir mungil anak-anak yang kira-kira masih berusia balita. Cintaselalu mendua cinta adalah kau dan aku. Maafkan. Kau boleh lakukan apa saja untuk membalasku, mencaci, memaki, tapi jangan pernah tinggalkan aku. Sepanjang nafasku masih berhembus, aku akan terus menjaga, menyayang dan melindungi satu-satunya kekasih hatiku. Lambat tapi pasti, merasuk ditengah keraguanku. Aku rasa aku jatuh cinta Iabegitu pandai dalam membuatku hanyut akan rasa nyaman. Tentang caranya; aku tidak dapat mendeskripsikan, yang aku tau banyak kejutan hingga terkadang aku sendiri merasa aneh; kenapa ia bisa berfikir seperti ini, melakukan hal ini, dan menentukan tentang ini. Apakah aku masih boleh berharap akan kita yang bisa bersama lagi? Atau memang 8mVRw. Mengapa Aku Begitu Pandai – Friedrich Nietzsche Rp Noor Cholis Penerbit Circa Tebal 124 halaman ISBN 978-602-52645-3-5Kondisi BaruDalam buku tipis ini kita akan menemukan Nietzsche yang bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya dalam narasi-narasi sastrawi, dilanjutkan dengan aforisme-aforisme yang menjadi ciri khasnya deret proposisi padat yang berpotensi menimbulkan pertanyaan panjang dalam imajinasi pembaca, proposisi-proposisi yang mengutip Milan Kundera, merupakan salah satu dari enam karya yang lahir pada masa kematangan teks Nietzsche sang sastrawan’ sekaligus sang filsuf’ pada zaman ketika ruang kontemplasi semakin sukar ditemukan karena hidup penuh dengan narasi besar yang berlintasan dengan cepat–serta teks yang dirumit-rumitkan untuk menutupi kurangnya imajinasi–tampaknya adalah sebuah upaya untuk kembali ke keheningan kodrati, di mana kita bebas untuk menjadi orang lain sebagai jalan menjadi diri kita sendiri. Additional information Reviews 0Additional kgDimensions19 x 13 x cmAdd a ReviewRelated products Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan? dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memahami pemikiran Nietzche berarti selevel dengan dirinya. Berarti mengalami betapa getirnya pengalaman hidup Nietzsche yang berat dan kelam. Bagi Nietzsche pemikirannya bukan untuk diketahui. Biarlah ia sendiri yang paham tentang gagasannya, dirinya sendiri. Dengan begitu cukup ia yang menanggung sengsara. Tapi, jika ada orang yang berani masuk lebih jauh ke dalam pemikirannya, dan berusaha memahami sepenuhnya, maka betapa kasihannya orang itu. Kata Nietzsche, ia –orang itu—sama beratnya dengan dirinya. Sama pedihnya dengan Nietzsche. Bukankah setiap pemikiran dituliskan demi diketahui khalayak? Bukankah setiap gagasan si pemikir memiliki maksud mencerahkan pembacanya? Lalu dalam kasus Nietzsche untuk apa pikiran-pikirannya ia tulis? Bukankah setidak-tidaknya itu berarti ada sesuatu yang ia ingin sampaikan? Ada pesan yang ingin ia ungkapkan? Paradoks memang. Lama saya mengetahui penjelasan Setyo Wibowo di atas. Nietzsche bukanlah filsuf biasa. Ia filsuf cum sastrawan. Ia pemikir dan perasa sekaligus. Dari kacamata ini, saya pelan-pelan mengerti, membaca pemikiran Nietszche berarti sekaligus memahami dirinya. Ikut –jika memungkinkan—setidaknya sebagian perjalanan hidupnya. Itu berarti ikut menjiwai apa-apa yang ia alami selama hidupnya. Itulah sebabnya, pendekatan untuk memahami Nietzsche agak berbeda dengan pemikir lainnya. Jika pemikir lainnya cukup kita mengetahui aspek biografis dengan cara membacanya, dengan Nietzche tidak cukup hanya itu. Kita –setidaknya bagi saya—dituntut untuk ikut menyelami dunia pengalaman-perasaan dirinya. Sejenis praktik hermeunetik. Dari situlah kita akhirnya berisiko seperti dikatakan Setyo Wibowo di atas. Harus rela merasakan bagaimana beratnya pengalaman hidup Nietzsche. Pemikiran yang mendarahdaging dengan aspek-aspek perasaannya, atau perasaan yang beruratakar dengan pikirannya. Mengerti pemikirannya juga mesti merasakan pergulatan batinnya. Menurut saya dengan cara itulah kita bisa menyerap inti sari gagasan Nietzsche yang rumit dan berlapis-lapis itu. Nietzsche adalah filsuf dengan kehidupan yang terputus-putus. Melalui buku Gaya Filsafat Nietzsche, Romo Setyo Wibowo menyebutnya keterputusan-keterputusan relasi. Pengalaman hidup ini ditandai dengan cara hidup Nietzsche yang nomaden. Ia hidup selayaknya seorang pengembara, dari satu tempat ke tempat lain tanpa pernah bermukim lama. Kata Romo Setyo dalam buku yang sama, keterputusan yang paling fundamental dialami Nietzche adalah perpisahannya dengan iman kristiani. Keterputusan ini kontan membuatnya terpisah dari tradisi kristiani yang dirawat oleh keluarga besarnya. Kedua, dia putus dengan tempatnya mengabdikan diri sebagai dosen; Universitas. Sebagai seorang filolog ia ditolak lantaran terlalu filosofis dalam menerapkan pendekatan filologis. Terputusnya dari universitas sekaligus menjauhkannya dari komunitas intelektual pada waktu itu. Ketiga, lantaran kesehatannya yang memburuk, membuat Nistzsche terputus dari kehidupan normal. Ia mesti menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dari orang sehat. Bahkan untuk memenuhi kebutuhannya menghirup udara, ia mesti mencari tempat yang cocok bagi dirinya. Keempat, konsekuensi dari cara hidupnya yang nomaden, secara afeksi membuatnya jauh dari lingkungan pergaulan. Pola hidup yang nomaden membuat ia tak mampu memiliki relasi pertemanan yang bertahan lama. Lebih dari itu, bahkan untuk membina keluarga pun sulit karena cara hidup yang demikian tak menentu. Berkat cara hidupnya ini Nietzsche menjadi filsuf soliter. Ia menjadi pribadi unik yang ditempa kesendirian. Bahkan sebelum masuk masa kegilaannya, ia sudah didera penyakit yang pelan-pelan menggerogoti tubuhnya dari dalam. Dahsyatnya, dan inilah yang membuatnya sebagai pribadi unggul. Dalam keadaan sakit itulah ia justru produktif secara pemikiran dan intuitif. Banyak melahirkan karya-karya monumental melalui penghayatannya secara kontemplatif. Mengapa Aku Begitu Pandai adalah sebuah solikokui yang demikian panjang dari Nietzsche untuk Nietzsche. Dia bertanya kemudian dijawabnya dengan cara sendiri dan dari pikirannya yang demikian origin. Ibarat cermin, Nietzsche dengan cara ini sedang menguji seberapa mungkinkah ia mampu menemukan ”jawaban-jawaban” dari dirinya sendiri. ”Bagaimana mencukupi kebutuhan makan dirimu sendiri untuk mencapai puncak kekuatanmu, mencapai virtŭ dalam gaya Renaisans, kebajikan bebas moralin?” Virtu adalah keutamaan yang diandaikan Nietzsche sebagai ciri khas manusia. Namun, walaupun begitu ia mesti ditemukan di dalam pencarian yang kadang demikian sulit. Kadang manusia terjebak ke dalam pragmatisme dengan mengidefixkan pakem-pakem nilai agar kehidupan menjadi lebih praktis dan mudah. Ideologi, agama, moral, filsafat, sains, politik, dan pakem-pakem semacamnya adalah idefix yang ditolak Nietzsche karena terlalu mengkerdilkan kehidupan. Virtu harusnya selaras dengan esensi kehidupan yang sebenarnya chaos. Bukan berhenti di dalam nilai-nilai yang diidealisasi dan melihat dunia dalam keadaan harmoni dan tetap. Dunia adalah suatu kemenjadian tanpa ujung. Manusia harus menggunakan virtunya agar dapat ikut menjadi. Berkata “ya” kepada dunia yang terus bergerak. Dengan kata lain, di dalam dunia yang bergerak, “kedisinian” adalah satu-satunya kenyataan yang menopang diri. Esok dan masa lalu hanyalah idealisasi yang tidak memiliki dasar eksistensi sama sekali. Manusia mesti mencitai nasibnya sendiri. Di sini dan sekarang. ”Rumusanku bagi kebesaran dalam seseorang manusia adalah amor fati bahwa orang tidak menginginkan menjadi selain seperti saat ini, bukan di masa depan, bukan di masa lalu, bukan dalam seluruh kekekalan. Bukan hanya menanggung apa yang terjadi karena keharusan, apalagi membuyarkannya—semua idealisme adalah ketidakbenaran di hadapan keharusan—melainkan untuk mencintainya…” Akhir kata, membaca teks-teks Nietzsche ibarat berhadapan dengan sebuah labirin. Banyak kelolakan dan jalan buntu yang sulit ditaklukkan. Itulah sebabnya, dengan nada khas selfishnya, ia mengatakan “Mengapa Aku Begitu Pandai?” Matias Damasio É o fim parece mentira mas e verdade pois para mim era bom que não fosse realidade 2X Terminar e tão ruim porque que tem que ser assim acabar para amanha chorar e não quero mas voltar a amar 2X Porque que tudo tem que ter um fim queria ser surdo para não te ouvir dizer adeus dizer adeus adeus adeus adeus volta ao inicio na segunda vez continua E as promessas q fizemos os filhos q não tivemos a casa que não construímos como eu vou fazer eu quero saber para onde vão os sonhos para onde vão os sonhos volta a segunda estrofe Composição -

mengapa aku begitu pandai